Kawasan Berikat merupakan area khusus di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di mana penyimpanan, pengelolaan, dan pembuatan barang dikondisikan untuk mendapat fasilitas kepabeanan, termasuk pengurangan atau pembebasan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kawasan ini diatur oleh peraturan pemerintah Indonesia sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi produksi dan daya saing produk domestik di pasar internasional. Dengan status berikat, perusahaan dapat menunda pembayaran bea masuk dan tidak dikenakan PPN untuk bahan baku impor, sepanjang barang tersebut digunakan dalam proses produksi barang untuk ekspor.
Tujuan dari penerapan kawasan berikat adalah untuk memperkuat struktur industri di dalam negeri, meningkatkan investasi, serta memperluas kesempatan kerja. Melalui fasilitas ini, pemerintah berharap dapat mendorong produksi barang yang berkualitas dan kompetitif di pasar global. Tujuan ini sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk mendorong ekspor dan mengurangi ketergantungan terhadap impor. Selain itu, kawasan berikat juga merupakan langkah strategis dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses kepabeanan dan logistik di Indonesia, menyederhanakan prosedur impor untuk bahan baku, dan mempercepat proses pengeluaran barang.
Dasar hukum pengaturan kawasan berikat di Indonesia tertuang dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kepabeanan. Regulasi lebih lanjut dijabarkan dalam regulasi pelaksanaannya, yang mencakup syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh perusahaan untuk bisa beroperasi dalam kawasan berikat. Fasilitas ini terbuka untuk semua sektor industri yang memenuhi kriteria regulasi, termasuk pengawasan yang ketat guna mencegah penyalahgunaan fasilitas kepabeanan. Kerjasama antara pengusaha dan pemerintah dalam konteks kawasan berikat, menjadi kunci sukses dalam upaya membangun ekonomi nasional yang lebih kuat dan berdaya saing tinggi.