Memahami Perlakuan Perpajakan di Kawasan Berikat Sesuai PMK No 255 PMK 04 2011 dan PP No 85 Tahun

Perlakuan Perpajakan di Kawasan Berikat

Kawasan berikat dalam lingkup regulasi Indonesia diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 255/PMK.04/2011 yang merupakan revisi dari PMK Nomor 147/PMK.04/2011. Landasan hukum ini bertujuan untuk mengatur lebih lanjut tentang kegiatan ekonomi dalam kawasan berikat, termasuk persyaratan, hak, dan kewajiban dalam konteks perlakuan perpajakan. Dalam hal ini, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2015 juga berperan sebagai referensi utama yang mendukung operasional dan kebijakan fiskal di kawasan tersebut.

Dalam konteks pemasukan ke kawasan berikat, terdapat beberapa kegiatan yang dibebaskan dari pengenaan PPN dan PPnBM. Ini mencakup pemasukan barang untuk diolah, barang hasil produksi baik untuk kerja subkontrak maupun pemasukan mesin atau moulding yang bersifat peminjaman. Juga, terlibat dalam proses ini adalah pemasukan barang hasil produksi yang menggunakan bahan baku dari dalam daerah pabean dan barang-barang pendukung produksi yang kemudian akan diekspor. Kebebasan dari PPN dan PPnBM ini bertujuan untuk mendorong efisiensi dan kompetitivitas produksi dalam kawasan berikat.

Sementara itu, terkait dengan aktivitas pengeluaran dari kawasan berikat, kebijakan perpajakan juga memberikan pembebasan PPN dan PPnBM pada beberapa kondisi tertentu. Hal ini termasuk pengeluaran hasil produk yang menggunakan bahan baku dari luar kawasan berikat untuk dikirim ke kawasan berikat lain, pengeluaran bahan baku atau penolong kepada penerima subkontrak, serta pengembalian mesin atau moulding yang dipinjamkan. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan integrasi dan sinergi antar kawasan berikat serta antara kawasan berikat dengan industri di dalam daerah pabean, sehingga memperkuat basis produksi nasional yang berdaya saing.