Kawasan berikat merupakan bangunan, tempat atau kawasan dengan batas-batas yang telah ditentukan di dalam wilayah Republik Indonesia (RI). Di dalam kawasan berikat ini diberlakukan aturan-aturan khusus terkait kepabeanan. Aturan-aturan khusus dalam kawasan berikat ini diberlakukan atas barang yang dimasukkan dari luar daerah pabean atau dari dalam daerah pabean lainnya.
Aktivitas dalam kawasan berikat ini meliputi industri pengolahan barang dan bahan baku, kegiatan rancang bangun, rekayasa, penyortiran, pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir dan pengepakan. Barang dan bahan baku yang dimaksud bisa dari impor atau berasal dari dalam daerah pabean Indonesia lainnya.
Sementara, kawasan bebas merupakan istilah yang mengacu pada kawasan perdagangan bebas yang ada dalam wilayah hukum Indonesia. Kawasan bebas ini perlakuannya terpisah dari daerah pabean.
Jadi, dalam kawasan bebas tidak ada pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan cukai. Hasil dalam kawasan bebas ini juga tidak mesti untuk kepentingan ekspor. Kawasan bebas di Indonesia ini terdiri atas empat, yakni di Batam, Sabang, Bintan dan Karimun.
Baik kawasan berikat dan kawasan bebas, keduanya diberikan perlakuan istimewa dalam aspek perpajakan.
Tidak semua kawasan industri menjadi kawasan berikat, meski peruntukan kawasan industri tersebut untuk kepentingan ekspor. Ada sejumlah syarat khusus yang harus dipenuhi agar suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan berikat.
Syarat-syarat tersebut antara lain:
1. Melalui keputusan Presiden
Kawasan yang mendapat izin Penyelenggara Kawasan Berikat (PKB) apabila mendapat persetujuan dari pemerintah dan dikukuhkan melalui Keputusan Presiden.
2. Memenuhi persyaratan perusahaan tertentu
Jenis perusahaan yang dapat diberikan izin PKB adalah perusahaan-perusahaan yang berbentuk:
3. Perusahaan yang memenuhi syarat PKB
Untuk bisa mendapatkan izin PKB, suatu perusahaan harus memenuhi beberapa ketentuan, antara lain:
Sedangkan untuk kawasan bebas, penentuannya merupakan kewenangan pemerintah pusat Indonesia, dengan [pengukuhan lewat Peraturan Pemerintah. Misalnya, saat penentuan kawasan bebas Bintan, yang dikukuhkan lewat PP Nomor 41 Tahun 2017.
Badan yang ditunjuk untuk mengelola kawasan bebas ini untuk selanjutnya disebut Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas atau lazim disebut Badan Pengusahaan (BP), seperti yang ada di Batam dan Bintan yang
Perlakuan perpajakan dalam kawasan berikat memiliki landasan hukum Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 255/PMK.04/2011 yang merupakan PMK perubahan atas PMK Nomor 147/PMK.04/2011. PMK ini mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2015.
Pada kawasan berikat, PPN dan PPnBM tidak dikenakan pada beberapa aktivitas pemasukan, antara lain:
Sementara, untuk aktivitas pengeluaran pada kawasan berikat, PPN dan PPnBM tidak dikenakan pada aktivitas sebagai berikut:
Untuk kawasan bebas, landasan hukum yang digunakan adalah PP Nomor 22 10 Tahun 2012. Pada kawasan bebas, masuknya barang dari luar daerah pabean mendapatkan pembebasan bea masuk, pembebasan PPN, tidak dilakukan pemungutan PPh Pasal 22 serta bisa juga mendapatkan pembebasan cukai.
Syarat agar barang mendapatkan fasilitas pembebasan pajak ini antara lain:
Untuk Barang Kena Pajak (BKP), pemasukan ke kawasan bebas melalui pelabuhan atau bandar udara yang telah ditunjuk oleh badan pengusahaan kawasan, tidak dipungut PPN dan PPnBM. Namun, ketentuan ini tidak berlaku bagi BKP yang telah dilunasi PPN-nya, yang dalam pengiriman telah disertakan stiker “Lunas PPN” serta bahan bakar minyak subsidi.
Fasilitas PPN dan PPnBM tidak akan dipungut sepanjang BKP yang dimaksud telah masuk dalam kawasan bebas dan dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang terlebih dahulu sudah diberikan endorsement oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Tanpa adanya endorsement dari DJP, BKP yang masuk ke kawasan bebas tetap akan terkena pungutan PPN.
Dokumen yang disampaikan untuk mendapatkan endorsement dari DJP ini adalah Pemberitahuan Pabean FTZ-03 (PP FTZ-03), yang sebelumnya didaftakan terlebih dahulu di kantor pabean.
Dokumen-dokumen yang tertera dalam PP FTZ-03 ini antara lain:
Pengusaha yang melakukan aktivitas pada kawasan berikat dan kawasan bebas tetap diwajibkan membuat faktur pajak, meski mendapatkan fasilitas tidak dikenakan pungutan PPN. Namun, yang membedakannya dengan pengusaha lain yang tidak melakukan kegiatan usaha di kawasan berikat dan kawasan bebas adalah kode faktur pajak yang digunakan.
Faktur pajak untuk kawasan berikat maupun kawasan bebas dibuat dengan menggunakan kode faktur 070. Kode ini sedari awal difungsikan bagi penyerahan BKP yang tidak dikenakan pungutan PPN atau BKP yang ditanggung pemerintah.
Selain itu ada pula perlakuan lainnya, yakni pembubuhan cap, baik untuk faktur pajak untuk kegiatan pada kawasan berikat, maupun pada kawasan bebas.
Pada kawasan berikat, faktur pajak harus diberikan cap, yakni “Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut eksekusi dari PP Nomor 85 TAHUN 2015.”
Sementara pada kawasan bebas, faktur pajak harus diberikan cap, yakni “Pajak Pertambahan Nilai Tidak Dipungut Berdasarkan PP Nomor 10 Tahun 2012