Sinergi BC dan DJP di Kawasan Berikat

Suatu hari kami melakukan kunjungan kerja (advisory visit) ke kawasan berikat di wilayah Jawa Timur. Di depan kantor berkibar salah satu bendera negara eropa berdampingan dengan sang merah putih. Kawasan berikat memang “seolah-olah” seperti suatu daerah diluar daerah pabean. Apabila terdengar kata-kata Kawasan Berikat, mungkin benak kita langsung terlintas Pulau Batam. Tidak salah memang, karena pulau Batam telah ditetapkan sebagai Kawasan Berikat (Bonded Zone) oleh pemerintah. Peraturan perundangan terakhir yaitu Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1992 memperluas wilayahnya Kawasan Berikat meliputi Pulau Batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang serta beberapa Pulau Kecil yang berada di sekitar pulau Rempang-Galang (Wilayah Barelang).

Menurut PP No. 32 tahun 2009 terakhir diubah dengan PP 85 TAHUN 2015 tentang tentang Tempat Penimbunan Berikat yang berlaku sejak 25 November 2015. Kawasan Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai.

Latar Belakang Kawasan Berikat

Sejak era Orde Baru sebetulnya tujuan dari Kawasan Berikat adalah dalam rangka meningkatkan investasi dan mendorong industrialisasi serta kinerja ekspor nasional. Daya saing produk ekspor Indonesia perlu ditingkatkan antara lain dengan jalan efisiensi proses produksi, peningkatan mutu barang, memperlancar arus keluar masuknya barang ke dan dari Indonesia. Dengan adanya pemberian fasilitas Kawasan Berikat, para investor akan lebih bergairah untuk melakukan kegiatan bisnisnya secara terpadu dan dapat lebih bersaing di pasaran internasional atas produk industri yang mereka hasilkan. Kawasan berikat ini berperan sebagai Export Processing Zone karena barang-barang yang diproduksi dalam kawasan ini diutamakan untuk ekspor.

Perusahaan penerima fasilitas kawasan berikat mendapatkan fasilitas penangguhan bea masuk, yaitu peniadaan untuk sementara kewajiban pembayaran bea masuk sampai dengan timbulnya kewajiban untuk membayar berdasarkan undang-undang. Artinya sepanjang ketentuan yang menyebabkan harus dibayarkannya bea masuk tersebut tidak terjadi maka penangguhan bea masuk tetap berlaku. Apabila perusahaan hendak mengeluarkan barang asal impor ke dalam daerah pabean (diimpor untuk dipakai), maka akan dipungut bea masuk, sepanjang pengeluarannya tersebut tidak ditujukan kepada pihak yang mendapatkan fasilitas pembebasan atau penangguhan bea masuk.

Pada dasarnya pajak dikenakan atas barang yang dikonsumsi di dalam negeri. Barang yang diproduksi di Indonesia dan kemudian diekspor, tidak dikenakan pajak karena tidak akan dikonsumsi di daerah pabean. Value added Tax atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku di Indonesia menganut prinsip destination principle, yakni dipajaki dimana barang itu dikonsumsi. Berdasarkan prinsip itu maka importasi bahan dan barang ke Kaber diberikan fasilitas tidak harus membayar pungutan perpajakannya. Dengan begitu ketika barang hasil olahannya diekspor, tidak perlu dilakukan restitusi atau pengembalian atas pajak-ajak yang telah dibayar.

Manfaat Kawasan Berikat

Bagi Perusahaan penerima fasilitas Kawasan Berikat, akan mendapat manfaat antara lain:

1. Efisiensi waktu pengiriman barang dengan tidak dilakukannya pemeriksaan fisik di Tempat Penimbunan Sementara (TPS / Pelabuhan).

2. Fasilitas perpajakan dan kepabeanan memungkinkan pengusaha kawasan berikat dapat menciptakan harga yang kompetitif di pasar global serta dapat melakukan penghematan biaya perpajakan.

3. Cash Flow Perusahaan serta Production Schedule lebih terjamin.

4. Membantu usaha pemerintah dalam rangka mengembangkan program keterkaitan antara perusahaan besar, menengah, dan kecil melaui pola kegiatan sub kontrak.

 

Kelemahan Kawasan Berikat

Kebijakan terbaru memberikan kelonggaran penjualan hasil produksi ke Pasar Domestik atau Daerah Pabean Indonesia Lainnya (DPIL). Industri yang beroperasi di KB berhak mendapatkan fasilitas fiskal, antara lain pembebasan BM dan PPN ketika mengimpor bahan baku. Namun, sesuai PMK 44/ 2012, pelaku industri harus mengekspor 75% produk olahannya dan hanya 25% yang boleh dijual ke pasar domestik. Namun demikian sektor tertentu pemberian ijin menjual ke DPIL mencapai 50% atau lebih (paling tinggi 70%) dibanding total produksi, tidak lagi sesuai dengan definisi “terutama untuk tujuan ekspor”. Apabila produksi kawasan berikat banyak masuk ke pasar domestik, hal itu akan terjadi dua risiko, yaitu :
1. Mengganggu industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis, tetapi tidak mendapatkan fasilitas kawasan berikat. Menimbulkan ketidakadilan dan harga dari produk non Kawasan Berikat menjadi tidak kompetitif di pasar lokal.
2. Penerimaan negara akan tertunda karena barang dari produksi kawasan berikat mendapatkan fasilitas bebas bea masuk dan pajak untuk impor bahan bakunya.

Kawasan berikat yang berdiri sendiri (tidak dalam komplek) sangat minim pengawasan sehingga rawan terjadinya kebocoran pajak. Secara faktual pintu masuk kawasan berikat adalah one gate sistem, terdapat semacam pos jaga/kantor pegawai bea cukai dan camera CCTV online yang terhubung ke kantor bea cukai. Meskipun begitu berdasarkan pengamatan penulis ketika berkunjung ke beberapa Kawasan Berikat yang stand alone sistem pengawasan lalu lintas barangnya terlihat sangat lemah. Lubang seperti ini ditengarai telah menggerakkan oknum pengusaha di KB untuk memanfaatkan fasilitas fiskal, seperti BM, PPN, dan PPnBM, berikut restitusinya. Para pengusaha yang berusaha melakukan kecurangan di KB diduga lebih memilih menjual produk di dalam negeri, sehingga mereka tidak saja merugikan negara, tapi juga merusak industri nasional secara keseluruhan karena industri sekitar non-KB menjadi tidak kompetitif.

Seharusnya Kemenkeu melalui Ditien Bea dan Cukai serta Ditien Pajak bersinergi meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan KB. Apalagi jika ada indikasi kuat sebagian pelaku industri di KB menjual produknya ke pasar dalam negeri. Belum lama ini Menteri Keuangan melakukan gebrakan dengan joint analis antara BC dan DJP dalam hal pertukaran data pelaku ekspor-impor yang menyalahi ketentuan, dimana antara pemilik barang, PPJK dan Handling ekspor-impor tidak singkron dalam membayar pajak. Nah, dalam hal Kawasan Berikat yang melibatkan dua institusi dibawah naungan Kementerian Keuangan, seyogyannya BC dan DJP juga perlu bergandengan erat dalam menumpas para durjana dan pengemplang guna mencapai tujuan bersama yakni penerimaan negara.